AGAMA PELACUR




Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh*

Judul buku : Agama Pelacur: Dramaturgi Transedental
Penulis : Prof. Dr. Nur Syam
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Cetakan : I, November 2010
Tebal : 365 halaman

Kehidupan merupakan festival drama. Banyak ragam karakter yang dimainkan manusia untuk mencerminkan lakon yang sedang dijalani. Festival drama ini terkadang menjadi dramatisasi yang dimainkan penuh misteri. Dramatisasi yang terbentuk dalam lapisan sosial masyarakat berdasatkan potensi sosial yang dimiliki masing-masing manusia. Seorang pelacur sejatinya menjalani drama hidupnya “apa adanya”. Dramatisasi terkadang dipersepsikan orang lain untuk menjustifikasi seorang pelacur dalam lapisan sosial “rendah”. Tanpa terlibat proses persepsi sosial tersebut, pelacur tak berkutik kala berhadapan dengan fakta sosial yang “menegatifkan” perilaku hidup yang dijalankan.

Buku bertajuk “Agama Pelacur: Dramaturgi Transedental” karya Pof Nur Syam mencoba menafsirkan drama kehidupan para pelacur dalam ruang kesadaran eksistensial dalam transedensi ketuhanan. Penulis mencoba melihat “sisi lain” kehidupan para pelacur yang masih bersentuhan dengan drama keberagamaan. Para pelacur masih memiliki kesejatian hidup, bahkan kesejatian terkadang jauh lebih menukik kedalamannya dari para yang dipersepsikan banyak orang. Walaupun berada dalam lubang yang nista, mereka menyimpan bara transedensi yang begitu kuat, sehingga dalam drama kehidupan di kemudian waktu, mereka bisa menjalani drama kehidupan yang lebih teguh dan menyakinkan.

Analisis yang digunakan penulis dalam melihat kehidupan para pelacur ini dalam ruang lingkup teori dramaturgi. Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Meski benar, dramaturgi juga digunakan dalam istilah teater namun term dan karakteristiknya berbeda dengan dramaturgi yang akan kita pelajari. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh Aristoteles.

Aristoteles memaknai dramaturgi dalam konteks seni. Sementara dalam konteks psikologi dan komunikasi, dramaturgi dikembangkan oleh Goffman dalam bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Bila Aristoteles mengacu kepada teater maka Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi.

Kenapa komunikasi? Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau.

Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, di mana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu.

Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”.

Seorang pelacur melengkapi kecakapan hidupnya dalam “lubang hitam” yang dipersepsikan negatif publik. Persepsi negatif tak menjadi alang bagi seorang pelacur untuk meneguhkan eksistensi transedentalnya dalam menyelami hekekat kehidupan. Tempat yang “remang-remang”, pekerjaan yang “kotor”, harta yang “rusuh” dan persepsi yang penuh bias tak menjadi halangan seorang pelacur dalam meyakinkan diri atas eksistensinya. Cibiran publik kerap kali menjadi kekuatan pelacur untuk meningkatkan kualitas hidup. Tak pernah putus asa dan kecewa dengan lelaku hidup yang sedang dijalani. Drama hidup yang dijalani benar-benar dijalankan sesuai dengan “amanat” Yang Kuasa.

Penulis melihat bahwa dramaturgi transedental yang dijalani seorang pelacur dalam beragama patut menjadi “catatan kritis” dalam perilaku kehidupan kita agar tidak menjustifikasi secara simplistik. Masih ada nurani yang menancap dalam sanubari pelacur, sehingga keberagamaannya tidak mesti menjadi “kotor” karena dunia remang-remang yang digeluti. Tuhan juga berada dalam setiap lingkup manusia, sehingga manusia dapat mendapatkan cahaya kesejatian dari Tuhan dalam segala tempat yang dikehedaki-Nya. Seorang pelacur hanya “memainkan drama” kehidupan untuk menyelami hakekat yang menancap dalam hati nuraninya.

*Pustakawan, tinggal di Yogya.

Komentar